SUDAH beberapa hari ini anak-anak muda dengan tubuh bertato, bertindik,
dan beberapa dengan rambut mencuat ke atas jarang terlihat lagi di
sekitar lampu merah Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur. Hal
yang sama juga terjadi di sekitar Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan
lampu merah Mal Graha Cijantung.
Yang mengusir anak-anak punk dari tempat nongkrong dan mengamen mereka itu bukan hanya hujan deras, melainkan juga pria-pria berseragam cokelat. Selama sebulan, sejak 24 Februari 2012, Polda Metro Jaya menggelar Operasi Kilat Jaya 2012.
Meski sasaran operasi ini ialah memberantas dan menangkap pelaku premanisme, data Polres Jakarta Timur menyebutkan pada 24 Februari 2012-8 Maret 2012 sebanyak 49 anak punk dijaring.
Kenyataan bahwa anak-anak punk itu kemudian dilepaskan kembali karena tidak membawa senjata tajam atau tidak terbukti memeras membuat penangkapan mereka pun terasa ganjil. Negara seolah menyamakan mereka dengan preman, atau malah memang benar isu adanya mobilisasi anak punk untuk menggulingkan presiden?
"(Penangkapan itu) dasarnya peraturan daerah yang menyebutkan tidak boleh ada pengamen di lampu merah. Ya, mau enggak mau (punk) masuk sasaran," kata Kasubbag Humas Polres Jakarta Timur Ajun Komisaris Didik Hariyadi, Jumat (9/3).
Namun, mengenai isu untuk penggulingan presiden, kepolisian tampak ragu menjawab. "Saya no comment masalah itu," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.
Apa pun alasannya, penangkapan para punker tanpa sebab yang jelas membuat komunitas mereka pun protes. Terlebih bukan kali ini saja komunitas punk diperlakukan seperti penjahat. Desember 2011, komunitas punk dirazia dan dilarang ada di Aceh. Pentolan punk di Bandung juga menuturkan kerap ada penggerebekan terhadap mereka oleh ormas yang didukung kepolisian.
Para punker di Jakarta, Bandung, dan Bali tegas menolak jika mereka disamakan dengan preman. Penampilan berbeda mereka bukan berarti jiwa kriminal. "Ini (penangkapan) bentuk ketidakadilan. Jangan hanya karena penampilan lalu diciduk. Seharusnya membangun rasa menghargai perbedaan," tukas salah satu pentolan komunitas punk Taring Babi, Mike.(*/SN/OL/M-5)
Yang mengusir anak-anak punk dari tempat nongkrong dan mengamen mereka itu bukan hanya hujan deras, melainkan juga pria-pria berseragam cokelat. Selama sebulan, sejak 24 Februari 2012, Polda Metro Jaya menggelar Operasi Kilat Jaya 2012.
Meski sasaran operasi ini ialah memberantas dan menangkap pelaku premanisme, data Polres Jakarta Timur menyebutkan pada 24 Februari 2012-8 Maret 2012 sebanyak 49 anak punk dijaring.
Kenyataan bahwa anak-anak punk itu kemudian dilepaskan kembali karena tidak membawa senjata tajam atau tidak terbukti memeras membuat penangkapan mereka pun terasa ganjil. Negara seolah menyamakan mereka dengan preman, atau malah memang benar isu adanya mobilisasi anak punk untuk menggulingkan presiden?
"(Penangkapan itu) dasarnya peraturan daerah yang menyebutkan tidak boleh ada pengamen di lampu merah. Ya, mau enggak mau (punk) masuk sasaran," kata Kasubbag Humas Polres Jakarta Timur Ajun Komisaris Didik Hariyadi, Jumat (9/3).
Namun, mengenai isu untuk penggulingan presiden, kepolisian tampak ragu menjawab. "Saya no comment masalah itu," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.
Apa pun alasannya, penangkapan para punker tanpa sebab yang jelas membuat komunitas mereka pun protes. Terlebih bukan kali ini saja komunitas punk diperlakukan seperti penjahat. Desember 2011, komunitas punk dirazia dan dilarang ada di Aceh. Pentolan punk di Bandung juga menuturkan kerap ada penggerebekan terhadap mereka oleh ormas yang didukung kepolisian.
Para punker di Jakarta, Bandung, dan Bali tegas menolak jika mereka disamakan dengan preman. Penampilan berbeda mereka bukan berarti jiwa kriminal. "Ini (penangkapan) bentuk ketidakadilan. Jangan hanya karena penampilan lalu diciduk. Seharusnya membangun rasa menghargai perbedaan," tukas salah satu pentolan komunitas punk Taring Babi, Mike.(*/SN/OL/M-5)
Sumber ; MEDIAINDONESIA