Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, seorang pemuda Wage Rudolf Supratman tergerak membuat sebuah lagu untuk menggugah semangat kebangsaan. Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, Supratman memperdengarkan lagu itu, Indonesia Raya. Sumpah Pemuda 1928 tidak hanya komitmen tentang satu tanah air, bangsa, dan bahasa, tapi juga mentahbiskan sebuah komposisi musik untuk sebuah negara yang masih dalam imajinasi, tanggal berdirinya belum dirumuskan kapan.
Lalu 90 tahun kemudian, penyelenggara negara mencoba mengatur musik dengan gagasan-gagasan yang anti-intelektual lewat Rancangan Undang-undang Permusikan. RUU Permusikan berambisi memberangus kemerdekaan berekspresi, sebuah semangat yang dulunya bisa membunuh imajinasi tentang Indonesia.
Video klip “Dagelan Penipu Rakyat” ini direkam di Ubud, Bali. Ini adalah respons Navicula pada RUU Permusikan yang dijejali pasal-pasal karet dan bermasalah namun diletakkan sebagai prioritas legislasi. Anggota DPR yang mulia, dengarkan kebutuhan rakyat.
Kau gila! Bisa kau memutar logika massa
Ku jadi gila karena mencoba membuat waras dunia
Penguasa... suka manipulasi janji surga
Etika... integritas adalah suatu yang langkah
Bila gedung rakyat dijajah pendusta
Maka hanya ada satu kata dari kita Lawan!!!
Mencuri tapi penjaga hukum yang dibui
Curi lagi... ada 1000 celah yang kau miliki
Bila gedung rakyat dijajah pendusta
Maka hanya ada satu kata dari kita Lawan!!!
Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!!
Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!!
Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!!
Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!!
Bila gedung rakyat dijajah pendusta
Maka hanya ada satu kata dari kita Lawan!!!
Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!!
Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!! Lawan!!!