Aku mengutip ucapan Jerinx SID saat konser Beda Is Me, Minggu lalu di Taman Ismail Marzuki. Kutipan ini diucapkan di depan ribuan Outsiders dan Lady Rose (sebutan untuk penggemar mereka). JRX, Bobby dan Eka banyak berbicara tentang kebhinekaan malam itu.
Diantara begitu banyak pernyataan kritis terhadap republik, kutipan ‘mengintip kemerdekaan’ sangat menarik buatku. Tidak hanya menarik, kutipan ini buatku dalam, menyentuh dan penuh makna. Setidaknya, ucapan ini membuatku berpikir sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi yang kutumpangi.
Ucapan ini JRX ucapkan di tengah konser yg sesekali tensinya meninggi. Tidak sampai kerusuhan memang. Tapi senggolan beberapa penonton sempat membuat personel SID sibuk memberitahu tahu penggemarnya untuk tidak memancing keributan. Tentu konser tentang keberagaman, dan juga anti kekerasan dinodai ulah segelintir orang yang memancing di air keruh. Tidak semua yang datang ke acara itu punya niat baik. Itu menurutku. Selebihnya konser Beda Is Me, yang digagas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama, diisi oleh Marjinal dan Jogja Hip Hop Foundation berlangsung lancar jaya.
Sebagai band dengan lebih dari tiga penggemar di jejaring sosial, yang bisa jadi pada realitanya jumlah jauh dari itu, fans SID terdiri dari banyak karakter. Penggemarnya, mungkin saja beririsan dengan penggemar Slank atau Orang Indonesia-nya Iwan Fals. Mereka mungkin banyak datang dari remaja, pencari jati diri tapi kerap berasal dari mereka yang terpinggirkan. Generasi yang mudah marah tapi tak tahu berbuat harus berbuat apa untuk republik. Tak heran ketika band punk Marjinal bernyanyi, ribuan penonton bernyanyi bersemangat tentang lagu yang berisi perlawanan terhadap kemapanan. Aku merinding dibuatnya.
Baiklah, kembali pada topik yang ingin aku bicarakan: mengintip kemerdekaan. Aku tidak ingat detail apa yang diucapkan JRX pada malam itu. Tetapi aku menangkap maknanya, isilah kemerdekaan dengan hal-hal sederhana. Hal-hal kecil yang bisa dimulai dari diri sendiri sebelum ingin mengubah orang lain. Aku ingat JRX sempat berucap, banyak orang yang saling berebutan mengintip kemerdekaan dari celah yang amat sempit. Aku dibuat berpikir oleh pernyataan ini. Apalagi ketika “Kita hadir di sini untuk merayakan keberagaman,” kata JRX.
Di Indonesia, kemerdekaan bukan kata mati. Dia menjadi awal sekaligus ujung. Berakhirnya perjuangan sekaligus mulainya babak kehidupan baru negeri bernama Indonesia. Kemerdekaan adalah awal dari kebebebasan. Melakukan kehendak tanpa takut tekanan pihak lain. Tetapi apakah kemerdekaan seindah itu? Entahlah.
Tapi aku sering merasakan ini. Kemerdekaan menjadi kata sarat makna tapi terdistorsi oleh perilaku sebagian dari kita.
Waktu kecil, aku menganggap kemerdekaan hanya sekadar lomba lari karung, makan krupuk hingga panjat pinang. Kemerdekaan ada keriuhan. Kemerdekaan adalah kesenangan sebab aku menjadi libur karenanya. Kemerdekaan adalah melihat kakak-kakak baris berbaris, mengikuti lomba gerak jalan sejauh belasan kilometer. Pemahamanku, kala itu, tentang kemerdekaan hanya sebatas itu. Sederhana. Kemerdekaan adalah kombinasi kesenangan, keceriaan dan kebebasan dalam satu waktu. Siapa sih yang tidak senang dengan kemerdekaan?
Tapi, kemerdekaan tidak seindah apa yang aku pikirkan waktu kecil.
Saat melawan penjajahan, kemerdekaan tentu saja ditebus dengan harga yang teramat mahal. Nyawa, harta dan airmata. Kini, untuk merayakannya, kemerdekaan juga dibayar dengan harga yang sama dalam konteks yang berbeda. Setidaknya bagi mereka yang tidak pernah bebas untuk mengungkapkan ekspresinya.
Bagi Soekarno, kemerdekaan adalah jembatan emas. Jembatan yang bisa mengantarkan anak-anaknya menyeberang ke dunia yang berbeda. Dunia yang tidak hanya adil tetapi juga makmur. Mungkin Soekarno benar. Dia percaya diri, kemerdekaan adalah jalan menuju hidup yang lebih baik.
Tapi hari ini, Soekarno mungkin juga keliru. Kemerdekaan tidak seindah puja-puja.
Bagi sebagian orang, kemerdekaan tetap menjadi ruang kecil, gelap dan pengap dan hanya menyisakan sedikit celah untuk dinikmati. Di Banten misalnya. Kemerdekaan adalah bukan sebuah jembatan emas. Di sana, kemerdekaan adalah jembatan kayu lapuk sesungguhnya ketika bocah-bocah bertaruh menyawa untuk menikmati pendidikan. Tentu saja kita sudah melihat foto yang menghebohkan ini.
Kemerdekaan berada di sisi yang berbeda dari mereka yang termarjinalkan. Terpinggirkan oleh ego dan nafsu berkuasa. Dipisahkan sekat tipis, namun gelap dan tak terjangkau. Terlihat sekilas lewat layar kaca tapi pahit dalam realita. Dia berada di seberang jalan, dipisahkan ego mayoritas yang dipaksakan. Bagi orang-orang ini, kemerdekaan adalah sebuah utopia. Mimpi tanpa makna.
Kamar gelap kemerdekaan menyediakan sedikit lubang sempit. Berebut dan tak ragu saling sikut untuk mengintip gemerlap di luar sana. Mereka hidup berdampingan dalam pengap. Gerah dan mungkin saja meledak tak terkira ketika kemuakan sudah mencapai puncak kepala.
Lihat saja, di negara merdeka, keyakinan atas Tuhan di atas segalanya. Manusia bisa ditindas hanya karena orientasi seksual yang berbeda. Saudara bisa ditebas hanya karena cara beribadah yang tak sama. Gereja bisa disegel atas nama tirani mayoritas yang dibanggakan. Teman dijagal hanya karena dianggap menghina agama. Saudara kita ditembak hanya karena ingin merdeka di Papua.
Mereka, bagi saya, adalah penikmat kemerdekaan dari sisi gelap itu. Mengintip kemerdekaan dari lubang sempit, berdebu lalu mati pelan-pelan. Kita muak atas semua itu, kita melawan tapi tak mampu mengalahkannya.
Negara yang seharusnya menjaga kita, membiarkan pembantaian entah sebab apa. Negara diam (atau bungkam) dan penindasan merajalela. Perbedaan kita nikmati dalam ketakutan atau menjadi kutukan, aku bahkan tidak bisa bedakan. Perbedaan bukan dianggap kekayaan untuk menumbuhkan kebersamaan juga persaudaraan.
Entahlah. Aku tidak mengerti, apakah sebenarnya bangsa ini siap hidup dengan perbedaan..
Sumber : Agus Lenyot
0 komentar
Posting Komentar
Berhubung saya jarang online jadi kalau ada yang kurang jelas silahkan kalian tanyakan ke FB saya www.facebook.com/MuriadiRebellion