Jakarta - Sebelum tulisan ini saya lanjutkan, perlu saya pertegas jika konteks tulisan ini adalah mode cutting-edge sebagai bentuk perlawanan terhadap mode mainstream. Ya. Perlawanan. Seperti kita, khususnya yang masih punya otak, ketahui, industri mode mainstream melahirkan banyak sisi gelap nan kejam yang tercipta berkat trik-trik pemasaran ‘brilian’ mereka dengan anggaran miliaran: overkonsumerisme, adiksi akut terhadap sifat kepemilikan, yang pada akhirnya menjadikan manusia atau konsumennya sebagai mahkluk nihil esensi yang hanya mengejar citra. Dangkal.
Sesuai ‘status’-nya, merek-merek cutting-edge seharusnya menjadi bagian dari counter-culture atau bentuk perlawanan terhadap apapun yang ‘terlalu berkuasa dan merusak’. Dan di zaman global yang serba instan ini, merek apa saja yang mengaku diri sebagai ‘pelawan arus’ semestinya tidak lagi hanya berani ‘melawan’ secara desain dan kualitas (contoh: desain dan kata-kata provokatif dengan bahan berkualitas
prime) karena percayalah, hal-hal tersebut sudah ‘disikat’ dan ‘dikemas’ dengan jauh lebih baik dan terkurasi oleh merek-merek
mainstream yang ‘terlalu berkuasa’ itu. Jika perlawananmu hanya sebatas desain dan slogan tanpa didukung penekanan esensi dan
attitude serta perilaku lapangan yang kuat, kamu akan selalu tertinggal. Dari sinilah ide tulisan ini muncul.
You can’t be a wannabe and then expect a genuine love and respect from others just coz you’re playing it ‘safe’.
Jika secara desain dan kualitas kita sudah berada di level ‘bisa diadu’ dengan desain dan kualitas merek
mainstream, untuk apa kita mengikuti cara-cara pemasaran
mainstream yang 100% hanya bertujuan mencari keuntungan? Lalu apa bedanya kita dengan ‘mere-ka’? Yang membedakan institusi
mainstream dengan institusi
cutting-edge itu apa? Cari esensinya. Apa yang
cutting-edge atau berbahaya tentang sebuah
clothing brand yang tujuan utamanya hanyalah keuntungan, tanpa ada pesan perubahan DAN aksi nyata yang kita (sebagai generasi yang muak) ingin sampaikan atau lakukan terhadap peradaban yang makin berkarat ini? Apakah kita ingin meniru merek
mainstream dan menjadikan semua konsumen kita sebagai ‘robot pembeli’ tanpa tahu esensi dan alasan apakah mereka ‘membutuhkan’ produk kita atau tidak? Apakah kita mendewakan konsumerisme yang nihil esensi?
What’s so dangerous about that? Fuck your ‘cutting-edge’ bullshit if that’s your only goal. Jika dianalogikan dengan dunia musik, tak usah menjual citra indie, cutting-edge, berbahaya jika pesan, lirik,
attitude yang disampaikan secara esensi tiada beda dengan band atau musisi
mainstream yang cenderung menjual tema-tema ‘penumpulan syaraf kritis’.
Sorry, kids, tapi dunia ini sudah lama terbakar dan membutuhkan ‘pengasah-pengasah’ syaraf untuk memadamkannya.
Otherwise, we all just become slaves and we’re no other than ‘they are’: a robot, a money-making machine. Just another ‘born-school-work-death’ routine. Sedangkal itukah makna hidup kita?
So take a side, apakah kamu ingin menjadi ‘mereka’ yang ‘menjual’ dan ‘mengemas’ pemberontakan namun hampa kontribusi terhadap ‘perubahan’ itu sendiri (selain perubahan pada grafik saldo tabungan mereka, mungkin)? Atau kamu benar-benar ingin menjadi ‘musuh’
mainstream dan merubuhkan semua pakem-pakem bisnis konvensional, dan membuktikan pada ‘mereka’ jika tanpa mengikuti taktik pemsaran mereka yang ‘aman’ pun kita tetap bisa
survive. Bahkan mungkin jadi lebih besar dari mereka.
My point is, untuk semua merek-merek yang mengklaim diri sebagai merek
cutting-edge, buktikan identitas kalian bukan hanya ‘kulit’. Tidak hanya dengan menjadikan band atau musisi sebagai
mannequin kalian, atau hanya dengan mengadakan dan mendukung acara-acara musik ‘hura-hura’ tanpa esensi perlawanan yang jelas.
Give a real contribution and back it up with a real act. Take a look around. Apa yang membuat tidurmu tidak nyenyak? Alam atau lingkungan di daerahmu dirusak oleh penguasa atau investor rakus? Cari LSM yang menangani hal-hal seperti itu dan dukung setiap gerakan mereka dengan merekmu. Bosan melihat perlakuan
homophobic masyarakat? Dukung komunitas-komunitas yang terasing dan jadikan mereka bagian dari merekmu. Muak melihat generasi-generasi masa kini yang semakin manja dan maunya serba instan dan trendy? Jangan ikuti kemauan mereka, lalu jejali mereka dengan argumen-argumen yang membuat mereka dan keluarganya menangis. Muak melihat anak-anak muda yang membanggakan pakaiannya hanya karena dipakai juga oleh seorang selebriti? Hajar mereka dengan ideologi dan penekanan esensi. Muak dengan acara-acara TV atau band-band yang ‘menumpulkan’ syaraf kritis dan merdeka kita sebagai manusia? Jangan dukung selebriti atau musisi tersebut dengan merekmu.
Itu hanya beberapa contoh, dan kalian bisa kembangkan kerangka pemikiran tersebut ke banyak aspek yang menurut kalian perlu ‘dilawan’. Jika dulu musik
cutting-edge adalah perlawanan, maka kini adalah era di mana apa saja (termasuk pakaian) bisa kamu jadikan belati perlawanan. Semua tergantung pada caramu memaknai dan menjalani. Esensi, esensi dan esensi.
Think out of the box: Jika idealis dalam bermusik itu wajar, kenapa idealis dalam memaknai pakaian itu tiba-tiba aneh?
Saya tahu, mematangkan sebuah ideologi itu berat dan mahal. Ia bukan seperti mie instan yang tinggal rebus lalu dimakan begitu saja. Kita seringkali ‘menyerah’ di titik argumen agung para
mainstream, “Hidup memang harus seperti itu, kalau mau aman ya harus begini harus begitu bla bla bla.”
Fuck that! We have brains, and it’s limitless. Kita manusia, bukan robot. Dan ‘tembok-tembok’ kanker peradaban (overkonsumerisme, pembodohan, pencitraan nihil esensi, kerakusan penguasa dan lain-lain) bisa kita rubuhkan secara perlahan jika kita punya cukup pengetahuan dan nyali untuk melakukannya. Serang dari segala sisi. Dukung setiap perlawanan terhadap ‘tembok-tembok’ tersebut. Itu baru BERBAHAYA,
and that’s when you can call yourself a CUTTING-EDGE brand.
Cheers!